Selasa, 15 September 2015

Daun


Aku memandangnya dengan mata telanjang.
Hanya helaian yang telah disfungsi.
Rapuh.
Tapi, ia memang sedang menemui takdirnya.
Mengahadapi nasib dan manut akan gravitasi bumi.

Berserakan, terbang melayang tersapu angin.
Kemanapun ia pergi pun tak ada yang peduli.
Karena ia sekarang punya jabatan baru.
Yang orang bilang, ia adalah sampah.

Malangnya nasibmu.
Tenang, kau tak sendirian.
Kau bersama teman senasibmu
Sedang temanmu yang lain hanya sedang menunggu giliran.
Cepat atau lambat mereka ikut gugur.
Mati massal.

Kau melayang bagaikan perwakilan perasaan.
Bagi mereka yang dihinggapi rasa putus asa.
Ataupun dilanda rasa suka.
Yang orang bilang, itu musim gugur. 

-Septi Animar-

Jumat, 07 Agustus 2015

Anak Angkat

“Mbah, pagi-pagi banget kan masih ngaji belum juga adzan subuh” ujar  Aiman.
“Iya, nanti mbah telat lagi kayak kemarin” jawab wanita berumur sekitar  60 tahun lebih itu kepada cucunya. 

Aiman adalah bocah kelas 4 SD yang sedari lahir di asuh oleh sang nenek ketika orangtuanya bekerja. Lima tahun belakangan ini, kedua kalinya nenek yang bernama Salma pulang ke kampung halaman setelah hampir 40 tahun tidak menginjakkan kaki ke tanah kelahirannya tersebut.

“Tapi, nanti mbah balik lagi kan?” Tanya Aiman penuh penasaran.
“Enggak man”. Aiman terdiam, hatinya getir dan bergejolak meskipun usianya belum genap 9 tahun tapi dia sudah mengerti betul bahwa dia akan ditinggalkan nenek kesayangannya,  temannya sedari kecil. Bahkan semalaman Aiman tidak tidur menunggu saat neneknya berangkat ke stasiun.

Seiring kepergian nenek Salma, keluarga Aiman pun terusir secara halus oleh pemilik kontrakan dengan dalih akan merenovasi dan akan menaikkan harga kontrak. Ayah Aiman, Sutan sudah berusaha kesana-kemari untuk mencari kontrakan baru yang sesuai dengan kondisinya namun masih nihil. Dibilangan pusat Jakarta ini yang notabene-nya adalah daerah padat  memang sukar sekali mencari kontrakan kosong. Seperti saat akan makan di restoran yang ramai pengunjung, ada istilah waiting list. Istilah tersebut dapat digunakan juga dalam hal mengontrak kost-kostan atau rumah.

Alhasil keluarga kecil Aiman yang terdiri dari Ibunya, kakaknya, Melodi  dan adiknya, Nada menumpang dirumah keluarga Ibunya, yang bisa dibilang sudah full quota. Hanya sementara selama keluarga Aiman belum mendapat tempat tinggal baru. Itu pun juga menjadi salah satu alasan mengapa Nenek Salma ingin pulang kampung dan menetap sampai akhir hayat. Namun keputusannya belumlah bulat, Ia masih ingin tinggal di Jakarta bersama anak dan cucunya.

Semenjak suaminya wafat, sang nenek menjadi pekerja paruh waktu untuk sekedar mencari kesibukan dan memberi jajan para cucunya. Mulai dari membantu pekerjaan rumah tangga hingga dimintai tolong membelikan sesuatu kemudian mendapat imbalan. Hingga pada akhirnya ada mantan tetangga yang kini pindah rumah berjarak kurang lebih 45Km dari kota Jakarta menawarkan pekerjaan untuk mengasuh dan menjaga anaknya dirumah saat mereka bekerja. Tentu, tanpa pikir panjang ia menerima tawaran tersebut karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia masih ingin tinggal di Jakarta bersama keluarga kecilnya. Kota yang memberinya nafkah saat dulu ia masih menjadi pemilik warung kelontong di daerah pinggir jalan aktif. Suka dan duka yang tak terlupakan pada kota yang katanya keras dan kejam bagai ibu tiri itu. Walaupun jarak dari rumah calon majikan ke rumah menantunya lumayan jauh dan hanya dapat ditempuh dengan commuter line sebagai pilihan yang paling efektif. Itu semua bisa disiasati nantinya agar ia bisa bertemu anak dan cucunya sesekali.

Ia singgah beberapa hari di kampung halamannya di salah satu desa di Jawa Tengah. Bertemu sanak saudara adalah keinginan hampir semua orang saat suasana lebaran. Begitupun nenek Salma, begitu bahagianya ia akhirnya dapat menemui  sanak family di kampungnya. Berbekal uang yang ia tabung semenjak bulan puasa akhirnya ia bisa membeli tiket kereta kelas ekonomi dan tas baru untuk pakaian serta keperluannya.

Kembalilah ia ke Jakarta dengan menaiki gerbong kereta ekonomi. Waktu perjalanan yang ia pilih adalah waktu malam. Salah satu keponakannya mengantar ke stasiun dan menunggu hingga kereta berangkat. Estimasi perjalanan dari desanya menuju Jakarta kurang lebih 6 jam. Jika ia berangkat pukul 18.00 kalau perjalanan tidak molor sekitar 00.30 ia sudah sampai di stasiun Pasar Senen.

Ketika sampai Nenek Salma bingung dan sedikit bersedih saat turun dari ojek menuju daerah bekas kontrakannya. Ia tak tahu akan menuju kerumah siapa. Tak enak hati jika ia harus bermalam dirumah menantunya yang berjarak 3 kilo karena ia tahu disana sudah tak ada tempat untuknya karena terlalu sempit lagipula sudah lewat tengah malam. Tak enak hati pula jika ia mengetuk pintu warga sekitar untuk sekedar bermalam. Menunggu di pinggiran jalan sebuah gang. Terenyuh, lelah, sepi, kalut dan bingung. Batinnya tersiksa, di satu sisi ia ingin menyudahi semua ini dengan hidup sejahtera di kampung halamanya. Tapi disisi lain ia rindu anaknya, rindu cucunya. 



Tiba-tiba suara motor terdengar semakin mendekatinya. “Ngeeeng”.  Lalu mesin mati.

“Bu Salma”.

“Eh, Deka”. Nenek Salma agak terbelalak.

“Bu Salma ngapain disini, baru pulang dari kampung?”. Tanya gadis berpenampilan agak tomboy tersebut.

“Iya nih, baru sampe tadi keretanya jam setengah satu sampe Senen”. Suara Nenek Salma parau seperti menahan tangis.

“Ini juga ndak tahu mau tidur dimana”. Tambahnya.

“Oh gitu, yasudah tidur dirumah aja. Hayuk” pinta Deka.

Deka adalah seorang pekerja dengan system shift. Jadi bukanlah hal yang patut dicurigai saat ia pulang lewat tengah malam karena memang ia sedang kebagian shift siang/sore. Ibu Deka dulunya sering meminta bantuan nenek Salma dalam membantu pekerjaan rumah tangga jadi Ibu Deka pun akan melakukan hal yang sama apabila menemukan Nenek Salma terdampar di pinggir gang. Rumah Deka pun sebenarnya mungil, ia dan keluarga nya pun masih mengontrak rumah. Tapi tak apalah tanpa pikir panjang biarlah yang penting Nenek Salma berada di dalam rumah.

Paginya, seisi rumah sudah bangun. Deka, Ibu Deka, Dinda, Bara, dan Nenek Salma. Memasak air adalah rutinitas utama saat mereka baru bangun tidur menyusul dengan menyeruput teh atau kopi panas dan memakan sedikit camilan yang tersedia seadanya. Dinda sedang membuat kopi susu dan menawarkan Nenek Salma dan ia tidak menolak. Mengobrol sejenak dengan gadis hitam manis yang suka tersenyum itu mengenai kegiatannya selama di kampung.

“Iya, orang kampung mengira saya sudah meninggal”. Nenek Salma tersenyum.

“Wuah, kok bisa bu? Hehehe” Dinda terkekeh.

“Iya karena saya sudah tidak pernah kirim surat, ndak pulang-pulang kampung jadi dikira saya sudah tidak ada. Saya juga bawa foto Sutan, Aiman dan Nada. Kata orang di kampung Nada kayak bule” nenek Salma sumeringah.

Matanya mulai berbinar karena ada cairan yang ia tahan dimatanya semenjak semalam. Pembawaan Dinda yang dewasa dan pendengar yang baik terkadang memang mampu melumpuhkan kegengsian lawan bicaranya.

“Kata Sutan, mak doakan semoga kita cepat dapat kontrakan. Iya emak doain” tiru Nenek Salma saat menceritakan sepenggal dialog dengan anaknya.Terisak dengan suara parau, menitik juga butiran air dari sudut gelap matanya.

“ Dia tuh saya yang ngurus dari bayi, sekali-sekali saya temuin ke emaknya” tambahnya makin terisak.
“Memang ibunya ada dimana” Tanya Dinda
“ Di Banyuwangi, tapi ndak tahu kalo sekarang. Dari kecil sampe sekarang saya ikut dia terus. Makanya sedih apalagi harus ninggalin Aiman sama Nada. Meski Sutan bukan anak sendiri”. Sambil menyeruput kopi untuk meng-klamufase-kan tangisannya.

Mungkin memang ada istilah mantan suami, mantan istri, mantan pacar, mantan presiden, mantan narapidana dan mantan-mantan lainnya. Tapi istilah mantan anak angkat? Harus ditimbang-timbang dahulu sebelum menggunakannya. Mungkin juga tidak akan ada yang pernah memakai istilah itu karena maknanya sama sakralnya tanpa kata “angkat”. Walaupun ia tak terlahir dari rahimnya, tapi ia terlahir dari jiwa pertiwinya sebagai seorang ibu. Diasuh bagai anak sendiri sepenuh hati dibesarkan dengan nafkah terbaik dari telapak tanganya tanpa pamrih dan hanya berharap saat hari tua nanti dia tidak sendiri. 









Kamis, 09 April 2015

Silent

If the distance can't determine where we will meet, then I lay down and look at the sky.

If the wind can't convey through the whisper, then I muse.

If the words can't describe how much I miss you, then I pray in the rain.