“Mbah, pagi-pagi banget kan masih ngaji belum juga adzan
subuh” ujar Aiman.
“Iya, nanti mbah telat lagi kayak kemarin” jawab wanita
berumur sekitar 60 tahun lebih itu
kepada cucunya.
Aiman adalah bocah kelas 4 SD yang sedari lahir di asuh oleh
sang nenek ketika orangtuanya bekerja. Lima tahun belakangan ini, kedua kalinya
nenek yang bernama Salma pulang ke kampung halaman setelah hampir 40 tahun
tidak menginjakkan kaki ke tanah kelahirannya tersebut.
“Tapi, nanti mbah balik lagi kan?” Tanya Aiman penuh
penasaran.
“Enggak man”. Aiman terdiam, hatinya getir dan bergejolak
meskipun usianya belum genap 9 tahun tapi dia sudah mengerti betul bahwa dia
akan ditinggalkan nenek kesayangannya,
temannya sedari kecil. Bahkan semalaman Aiman tidak tidur menunggu saat
neneknya berangkat ke stasiun.
Seiring kepergian nenek Salma, keluarga Aiman pun terusir
secara halus oleh pemilik kontrakan dengan dalih akan merenovasi dan akan
menaikkan harga kontrak. Ayah Aiman, Sutan sudah berusaha kesana-kemari untuk
mencari kontrakan baru yang sesuai dengan kondisinya namun masih nihil. Dibilangan
pusat Jakarta ini yang notabene-nya adalah daerah padat memang sukar sekali mencari kontrakan kosong.
Seperti saat akan makan di restoran yang ramai pengunjung, ada istilah waiting
list. Istilah tersebut dapat digunakan juga dalam hal mengontrak kost-kostan
atau rumah.
Alhasil keluarga kecil Aiman yang terdiri dari Ibunya,
kakaknya, Melodi dan adiknya, Nada menumpang
dirumah keluarga Ibunya, yang bisa dibilang sudah full quota. Hanya sementara
selama keluarga Aiman belum mendapat tempat tinggal baru. Itu pun juga menjadi
salah satu alasan mengapa Nenek Salma ingin pulang kampung dan menetap sampai
akhir hayat. Namun keputusannya belumlah bulat, Ia masih ingin tinggal di Jakarta
bersama anak dan cucunya.
Semenjak suaminya wafat, sang nenek menjadi pekerja paruh
waktu untuk sekedar mencari kesibukan dan memberi jajan para cucunya. Mulai
dari membantu pekerjaan rumah tangga hingga dimintai tolong membelikan sesuatu kemudian
mendapat imbalan. Hingga pada akhirnya ada mantan tetangga yang kini pindah
rumah berjarak kurang lebih 45Km dari kota Jakarta menawarkan pekerjaan untuk
mengasuh dan menjaga anaknya dirumah saat mereka bekerja. Tentu, tanpa pikir panjang
ia menerima tawaran tersebut karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia
masih ingin tinggal di Jakarta bersama keluarga kecilnya. Kota yang memberinya
nafkah saat dulu ia masih menjadi pemilik warung kelontong di daerah pinggir
jalan aktif. Suka dan duka yang tak terlupakan pada kota yang katanya keras dan
kejam bagai ibu tiri itu. Walaupun jarak dari rumah calon majikan ke rumah
menantunya lumayan jauh dan hanya dapat ditempuh dengan commuter line sebagai
pilihan yang paling efektif. Itu semua bisa disiasati nantinya agar ia bisa
bertemu anak dan cucunya sesekali.
Ia singgah beberapa hari di kampung halamannya di salah satu
desa di Jawa Tengah. Bertemu sanak saudara adalah keinginan hampir semua orang
saat suasana lebaran. Begitupun nenek Salma, begitu bahagianya ia akhirnya
dapat menemui sanak family di
kampungnya. Berbekal uang yang ia tabung semenjak bulan puasa akhirnya ia bisa
membeli tiket kereta kelas ekonomi dan tas baru untuk pakaian serta keperluannya.
Kembalilah ia ke Jakarta dengan menaiki gerbong kereta
ekonomi. Waktu perjalanan yang ia pilih adalah waktu malam. Salah satu
keponakannya mengantar ke stasiun dan menunggu hingga kereta berangkat. Estimasi
perjalanan dari desanya menuju Jakarta kurang lebih 6 jam. Jika ia berangkat
pukul 18.00 kalau perjalanan tidak molor sekitar 00.30 ia sudah sampai di
stasiun Pasar Senen.
Ketika sampai Nenek Salma bingung dan sedikit bersedih saat
turun dari ojek menuju daerah bekas kontrakannya. Ia tak tahu akan menuju kerumah
siapa. Tak enak hati jika ia harus bermalam dirumah menantunya yang berjarak 3
kilo karena ia tahu disana sudah tak ada tempat untuknya karena terlalu sempit
lagipula sudah lewat tengah malam. Tak enak hati pula jika ia mengetuk pintu
warga sekitar untuk sekedar bermalam. Menunggu di pinggiran jalan sebuah gang.
Terenyuh, lelah, sepi, kalut dan bingung. Batinnya tersiksa, di satu sisi ia
ingin menyudahi semua ini dengan hidup sejahtera di kampung halamanya. Tapi
disisi lain ia rindu anaknya, rindu cucunya.
Tiba-tiba suara motor terdengar semakin mendekatinya. “Ngeeeng”.
Lalu mesin mati.
“Bu Salma”.
“Eh, Deka”. Nenek Salma agak terbelalak.
“Bu Salma ngapain disini, baru pulang dari kampung?”. Tanya gadis
berpenampilan agak tomboy tersebut.
“Iya nih, baru sampe tadi keretanya jam setengah satu sampe
Senen”. Suara Nenek Salma parau seperti menahan tangis.
“Ini juga ndak tahu mau tidur dimana”. Tambahnya.
“Oh gitu, yasudah tidur dirumah aja. Hayuk” pinta Deka.
Deka adalah seorang pekerja dengan system shift. Jadi
bukanlah hal yang patut dicurigai saat ia pulang lewat tengah malam karena
memang ia sedang kebagian shift siang/sore. Ibu Deka dulunya sering meminta
bantuan nenek Salma dalam membantu pekerjaan rumah tangga jadi Ibu Deka pun
akan melakukan hal yang sama apabila menemukan Nenek Salma terdampar di pinggir
gang. Rumah Deka pun sebenarnya mungil, ia dan keluarga nya pun masih
mengontrak rumah. Tapi tak apalah tanpa pikir panjang biarlah yang penting
Nenek Salma berada di dalam rumah.
Paginya, seisi rumah
sudah bangun. Deka, Ibu Deka, Dinda, Bara, dan Nenek Salma. Memasak air adalah
rutinitas utama saat mereka baru bangun tidur menyusul dengan menyeruput teh
atau kopi panas dan memakan sedikit camilan yang tersedia seadanya. Dinda
sedang membuat kopi susu dan menawarkan Nenek Salma dan ia tidak menolak. Mengobrol
sejenak dengan gadis hitam manis yang suka tersenyum itu mengenai kegiatannya
selama di kampung.
“Iya, orang kampung mengira saya sudah meninggal”. Nenek Salma
tersenyum.
“Wuah, kok bisa bu? Hehehe” Dinda terkekeh.
“Iya karena saya sudah tidak pernah kirim surat, ndak pulang-pulang
kampung jadi dikira saya sudah tidak ada. Saya juga bawa foto Sutan, Aiman dan
Nada. Kata orang di kampung Nada kayak bule” nenek Salma sumeringah.
Matanya mulai berbinar karena ada cairan yang ia tahan
dimatanya semenjak semalam. Pembawaan Dinda yang dewasa dan pendengar yang baik
terkadang memang mampu melumpuhkan kegengsian lawan bicaranya.
“Kata Sutan, mak doakan semoga kita cepat dapat kontrakan.
Iya emak doain” tiru Nenek Salma saat menceritakan sepenggal dialog dengan
anaknya.Terisak dengan suara parau, menitik juga butiran air dari sudut gelap
matanya.
“ Dia tuh saya yang ngurus dari bayi, sekali-sekali saya
temuin ke emaknya” tambahnya makin terisak.
“Memang ibunya ada dimana” Tanya Dinda
“ Di Banyuwangi, tapi ndak tahu kalo sekarang. Dari kecil
sampe sekarang saya ikut dia terus. Makanya sedih apalagi harus ninggalin Aiman
sama Nada. Meski Sutan bukan anak sendiri”. Sambil menyeruput kopi untuk meng-klamufase-kan
tangisannya.
Mungkin memang ada istilah mantan suami, mantan istri,
mantan pacar, mantan presiden, mantan narapidana dan mantan-mantan lainnya.
Tapi istilah mantan anak angkat? Harus ditimbang-timbang dahulu sebelum
menggunakannya. Mungkin juga tidak akan ada yang pernah memakai istilah itu
karena maknanya sama sakralnya tanpa kata “angkat”. Walaupun ia tak terlahir
dari rahimnya, tapi ia terlahir dari jiwa pertiwinya sebagai seorang ibu.
Diasuh bagai anak sendiri sepenuh hati dibesarkan dengan nafkah terbaik dari telapak
tanganya tanpa pamrih dan hanya berharap saat hari tua nanti dia tidak sendiri.