Melihat bis/kotak surat ini, membangkitkan sebuah
imajinasiku belasan tahun silam. Dulu, ketika aku masih duduk dibangku
sekolah dasar, betapa takjubnya waktu pertama kali melihat kotak
tersebut. Pikirku, ini seperti kotak ajaib, bisa mengantarkan surat
tanpa harus tertulis jelas kepada siapa dan kemana. Entah, aku berpikir
bahwa surat-surat yang masuk kekotak tersebut akan sendirinya menghilang
dan sampai pada maksud dan tujuan sipenulis surat tanpa bantuan tangan
manusia. WOW!
Sampai pada suatu hari, sang guru meminta kami (para
muridnya) untuk berkirim surat kepada sahabat pena. Waktu itu, jelas aku
belumlah berpengalaman menulis apalagi memiliki sahabat pena. Aha, tapi
aku punya sahabat karib nan cukup jauh disana, jarang bertemu namun
seringkali rindu akan momen-momen bermain bersama, dari main tanah
sampai mengejar ayam.
Aku tulis surat sekedar menanya kabar dan sedikit curhat.
Dengan hati riang, aku masukan saja ke kotak surat tanpa ragu, tanpa aku
mencantumkan alamat (karena memang aku tidak tahu alamatnya) Beberapa
hari kemudian aku berharap bahwa aku akan segera menerima surat balasan.
Hari demi hari semakin lemas. "Ah sudahlah, mungkin memang tidak
dibalas. Kotak surat ternyata tidak secanggih itu" pikirku.
Selang beberapa minggu, sang guru menjelaskan kepada kami
bahwa surat yang dikirim harus ada perangko dan alamat. Sepulang sekolah
aku langsung meluncur ke sebuah wartel karena didepan wartel tersebut
tertulis kata 'mail' yang artinya surat (salah fokus :D). Bergegaslah
aku bersama salah temanku (aku tidak tahu apakah dia masih ingat ini
atau tidak, mungkin jika membaca ini, beliau akan ingat. Hehehe)
menghampiri, lalu aku mengatakan maksud dan tujuanku sambil membawa-bawa
amplop. Voila..akhirnya aku semakin mendapat pencerahan bagaimana agar
surat ini terkirim.
"Sekarang aku sudah tahu, baiklah kali ini aku tidak butuh bantuanmu, wahai kotak surat. Aku mengerti betul sekarang" ujarku.
"Sekarang aku sudah tahu, baiklah kali ini aku tidak butuh bantuanmu, wahai kotak surat. Aku mengerti betul sekarang" ujarku.
Pada jaman dahulu kala aku sering tergiur akan hadiah
undian ketika melihat iklan di televisi. Aku mencobanya beberapa kali.
Beruntungnya, si dewa judi dalam hitungan jari berpihak padaku. Salah
satunya, pernah mendapat hadiah dari produk permen susu, walaupun itu
karena aku termasuk seribu pengirim pertama. Hahaha..
Berlanjut, aku semakin sering ke pos Indonesia untuk membeli perangko dan mengirim surat. Beralih dari mengirim undian dengan alamat PO.BOX, aku mengikuti beberapa kuis acara anak di televisi. Ketika pengumuman pemenang pada acaranya berikutnya, jantungku berdegup karena berharap sekali menjadi pemenang. Namun sayang, beberapa berujung kecewa.
Saat itu aku yakin betul, bahwa jawabanku dari pertanyaan
kuis tersebut 100% benar. Dan seketika berpikir bahwa pos perangko sudah
tidak dapat dipercaya, bisa jadi bahwa suratku tak sampai pada tujuan,
terselip atau dibuangnya entah kemana. Begitu pula, saat aku mengirim
hasil mewarnai atau coretan puisi ke sebuah majalah anak yang melegenda
sampai saat ini. Tak kunjung dimuat. Mungkin aku terlalu tabu, tidak
menyadari peluang tersebut tidaklah besar. Sampai-sampai aku menyerah,
tidak pernah kembali lagi kekantor pos dan membeli perangko bahkan
hingga saat ini.
Teknologi semakin maju, cara analog seperti itu perlahan
mulai ditinggalkan. Orang-orang beralih ke dunia elektrik. Semua surat,
semua jawaban kuis dapat dikirimkan dengan cepat tanpa ada sesuatu yang
membawanya. Hanya mengandalkan kekuatan udara dan cuaca semua dapat
sampai kurang dari 1detik. Sampai pada suatu hari, aku hinggap di sebuah
warnet meluncur dan menjelajah ke salah satu website. Dan lagi-lagi
mengikuti kuis, menjawab pertanyaan yang menurutku lumayan mudah. Tapi
kali ini, ingatanku tak terlalu fokus pada kemenangan atau
keberuntungan. Lupa begitu saja. Begitu pula, dulu aku juga sering
mengirim salam pada sebuah stasiun radio melalui sms, dan apabila
dibacakan senang rasanya. Jika tidak, yasudah tak mengapa.
Selang beberapa minggu, ketika aku sampai rumah. Ada amplop
coklat tergeletak di atas lemari. Wah, sebuah paket untukku. Tak sabar
aku membukanya.
Dan, kerennya itu adalah sepaket merchandise dari salah satu band favoritku sepanjang masa asal Jogja. Hal ini menjadi hebat ketika sang dewa judi berpihak padaku. Itulah hadiah kuis terakhir yang pernah aku dapat.
Dan, kerennya itu adalah sepaket merchandise dari salah satu band favoritku sepanjang masa asal Jogja. Hal ini menjadi hebat ketika sang dewa judi berpihak padaku. Itulah hadiah kuis terakhir yang pernah aku dapat.
Sekarang aku terbiasa mengirim atau menerima sebuah dokumen
atau paket. Sayang sekali peran kotak/bis surat ini sudah pensiun
dimakan jaman. Hanya sebagai pajangan aku rasa. Sepenglihatan aku,
fasilitas ini amat jarang yang memanfaatkannya. Orang-orang juga
berlalih ke jasa pengiriman swasta, termasuk aku pribadi.
Begitulah alur imajinasiku saat berjumpa lagi dengan
bis/kotak surat disuatu pagi. Halo kotak surat, sudah berapa lama kau
berdiri tegak di trotoar ini?