Rabu, 27 April 2016

Bis Surat

 Melihat bis/kotak surat ini, membangkitkan sebuah imajinasiku belasan tahun silam. Dulu, ketika aku masih duduk dibangku sekolah dasar, betapa takjubnya waktu pertama kali melihat kotak tersebut. Pikirku, ini seperti kotak ajaib, bisa mengantarkan surat tanpa harus tertulis jelas kepada siapa dan kemana. Entah, aku berpikir bahwa surat-surat yang masuk kekotak tersebut akan sendirinya menghilang dan sampai pada maksud dan tujuan sipenulis surat tanpa bantuan tangan manusia. WOW!

Sampai pada suatu hari, sang guru meminta kami (para muridnya) untuk berkirim surat kepada sahabat pena. Waktu itu, jelas aku belumlah berpengalaman menulis apalagi memiliki sahabat pena. Aha, tapi aku punya sahabat karib nan cukup jauh disana, jarang bertemu namun seringkali rindu akan momen-momen bermain bersama, dari main tanah sampai mengejar ayam. 

Aku tulis surat sekedar menanya kabar dan sedikit curhat. Dengan hati riang, aku masukan saja ke kotak surat tanpa ragu, tanpa aku mencantumkan alamat (karena memang aku tidak tahu alamatnya) Beberapa hari kemudian aku berharap bahwa aku akan segera menerima surat balasan. Hari demi hari semakin lemas. "Ah sudahlah, mungkin memang tidak dibalas. Kotak surat ternyata tidak secanggih itu" pikirku. 

Selang beberapa minggu, sang guru menjelaskan kepada kami bahwa surat yang dikirim harus ada perangko dan alamat. Sepulang sekolah aku langsung meluncur ke sebuah wartel karena didepan wartel tersebut tertulis kata 'mail' yang artinya surat (salah fokus :D).  Bergegaslah aku bersama salah temanku (aku tidak tahu apakah dia masih ingat ini atau tidak, mungkin jika membaca ini, beliau akan ingat. Hehehe)  menghampiri, lalu aku mengatakan maksud dan tujuanku sambil membawa-bawa amplop. Voila..akhirnya aku semakin mendapat pencerahan bagaimana agar surat ini terkirim.
"Sekarang aku sudah tahu, baiklah kali ini aku tidak butuh bantuanmu, wahai kotak surat. Aku mengerti betul sekarang" ujarku. 



 
Pada jaman dahulu kala aku sering tergiur akan hadiah undian ketika melihat iklan di televisi. Aku mencobanya beberapa kali. Beruntungnya, si dewa judi dalam hitungan jari berpihak padaku. Salah satunya, pernah mendapat hadiah dari produk permen susu, walaupun itu karena aku termasuk seribu pengirim pertama. Hahaha..

Berlanjut, aku semakin sering ke pos Indonesia untuk membeli perangko dan mengirim surat. Beralih dari mengirim undian dengan alamat PO.BOX, aku mengikuti beberapa kuis acara anak di televisi. Ketika pengumuman pemenang pada acaranya berikutnya, jantungku berdegup karena berharap sekali menjadi pemenang. Namun sayang, beberapa berujung kecewa.

Saat itu aku yakin betul, bahwa jawabanku dari pertanyaan kuis tersebut 100% benar. Dan seketika berpikir bahwa pos perangko sudah tidak dapat dipercaya, bisa jadi bahwa suratku tak sampai pada tujuan, terselip atau dibuangnya entah kemana. Begitu pula, saat aku mengirim hasil mewarnai atau coretan puisi ke sebuah majalah anak yang melegenda sampai saat ini. Tak kunjung dimuat. Mungkin aku terlalu tabu, tidak menyadari peluang tersebut tidaklah besar. Sampai-sampai aku menyerah, tidak pernah kembali lagi kekantor pos dan membeli perangko bahkan hingga saat ini.

Teknologi semakin maju, cara analog seperti itu perlahan mulai ditinggalkan. Orang-orang beralih ke dunia elektrik. Semua surat, semua jawaban kuis dapat dikirimkan dengan cepat tanpa ada sesuatu yang membawanya. Hanya mengandalkan kekuatan udara dan cuaca semua dapat sampai kurang dari 1detik. Sampai pada suatu hari, aku hinggap di sebuah warnet meluncur dan menjelajah ke salah satu website. Dan lagi-lagi mengikuti kuis, menjawab pertanyaan yang menurutku lumayan mudah. Tapi kali ini, ingatanku tak terlalu fokus pada kemenangan atau keberuntungan. Lupa begitu saja. Begitu pula, dulu aku juga sering mengirim salam pada sebuah stasiun radio melalui sms, dan apabila dibacakan senang rasanya. Jika tidak, yasudah tak mengapa. 

Selang beberapa minggu, ketika aku sampai rumah. Ada amplop coklat tergeletak di atas lemari. Wah, sebuah paket untukku. Tak sabar aku membukanya.
Dan, kerennya itu adalah sepaket merchandise dari salah satu band favoritku sepanjang masa asal Jogja. Hal ini menjadi hebat ketika sang dewa judi berpihak padaku. Itulah hadiah kuis terakhir yang pernah aku dapat.
Sekarang aku terbiasa mengirim atau menerima sebuah dokumen atau paket. Sayang sekali peran kotak/bis surat ini sudah pensiun dimakan jaman. Hanya sebagai pajangan aku rasa. Sepenglihatan aku, fasilitas ini amat jarang yang memanfaatkannya. Orang-orang juga berlalih ke jasa pengiriman swasta, termasuk aku pribadi.

Begitulah alur imajinasiku saat berjumpa lagi dengan bis/kotak surat disuatu pagi. Halo kotak surat, sudah berapa lama kau berdiri tegak di trotoar ini?

-Jakarta, 27 April 2016-

2 komentar:

  1. Jadi inget masa dulu. Hahay.. Generasi 90an masih merasakan asiknya bertanya-tanya apa surat udah sampai atau ga pernah sampai. Setidaknya waktu itu sudah lebih baik dari jaman "merpati" :D

    BalasHapus
  2. saat-saat klasik seperti itu. :D klo sekarang mah cepet klo mau kirim pesan, seperti gak ada seninya, seni menunggu wkwkwk

    BalasHapus