Rabu, 19 Oktober 2016

Filosofi Kopiku

Jadi sebut saja ia kopi, konon ia minuman yang berasal dari surga, julukan yang diberikan dari para penggemarnya. Aku sempat terheran-heran mengapa banyak sekali yang menggilai minuman hitam bak air got menjijikan ini. Bahkan dahulu bapakku menenggaknya. Kalau ibuku, aku cukup lupa sejak kapan ia meminumnya.
Dahulu aku sama sekali tak menyentuhnya, samar-samar aku ingat waktu aku masih di sekolah dasar, pertama kali aku mencoba kopi. Hampir semua orang dewasa dirumahku saat itu peminum kopi.

"Aduh apa enaknya sih kopi itu" pikirku dalam hati.
Sampai akhirnya aku mencoba menyeruput sedikit kopi hitam milik ibuku. Kemudian lama kelamaan hal itu menjadi suatu kebiasaan saat melihat secangkir kopi tergeletak entah siapa pemiliknya (yang pasti itu seduhan kopi salah satu anggota keluargaku sendiri).
Tibalah aku menyeduh kopi untuk diriku sendiri. Beberapa kali dalam seminggu aku ikutan meminumnya walau aku hanya sanggup meminum paling banyak setengah cangkir saja.
Aku malu waktu itu, apabila ada orang lain yang bukan anggota keluargaku dirumah mengetahui bahkan aku peminum kopi paruh waktu. Sungguh hal itu seperti aib sendiri karena aku khawatir pandangan teman-temanku aku bak orang dewasa yang banyak pikiran saja sampai-sampai membutuhkan minuman itu. Atau mungkin aku dibilang "nenek-nenek" karena meminum kopi.

Kebiasaan itu semakin menjadi sebuah rutinitas. Fix, aku peminum kopi kelas menengah. Hampir setiap hari aku minum kopi kemasan. Aku lebih suka kopi susu sama seperti ibuku, tapi Ibuku sudah lama berhenti 'ngopi' karena ia pernah tiba- tiba sakit kepala dan mual yang diduga akibat meminum kopi saat belum memakan apapun. Ia kapok sendiri.

Masih dalam keadaan malu mengakui, suatu hari temanku bertanya
"Woy, lo suka minum kopi gak?"
"hhmm..suka"
"serius?"
"iya, emang kenapa?"
"kok gue sekarang jadi suka kopi ya?! Yes, gue ada temennya" pengakuan temanku dengan nada yang cukup lega.

Lambat laun, aku tidak malu lagi mengakui bahwa aku suka minum kopi apalagi semakin dewasa semakin banyak teman-teman yang suka juga. Jadi aku sudah tidak merasa menjadi kaum minoritas yang dianggap ke-laki-an karena suka kopi.
Semakin percaya diri mengakui dan semakin suka dengan minuman pekat itu.
Seleraku juga lama kelamaan meningkat dari kopi kemasan menjadi biji kopi asli kelas kafe. Kemudian setelah tahu bahwa biji kopi asli itu jauh lebih enak dari kopi kemasan, aku tersadar bahwa kopi kemasan bukanlah kopi. Itu hanyalah minuman rasa kopi atau minuman beraroma kopi.

Apabila pergi ke kafe, tidak tanggung-tanggung aku pesan kopi dengan kadar yang tinggi. Suatu ketika, jantungku berdegup kencang sekali saat aku selesai meminum kopi. Lututku lemas, walau masih bisa bertahan. aku langsung menenggak sebotol air putih berharap hal itu hilang. Ternyata hilangnya cukup lama. Kapok? ya, pasti..
Tapi beberapa hari kemudian aku mengulanginya lagi.

Aku cukup sering mencari info, menjelajah setiap artikel mengenai manfaat dan bahaya kopi. Aku pikir-pikir kedua pihak tersebut seimbang. Aku melanjutkan meminum kopi, saat aku menginginkannya. Kata orang kopi membuat kita rileks. Dan benar adanya, aku rileks apabila meminumnya. Ditambah lagi teman ngobrol yang hangat.

Berdasarkan teori, orang yang memiliki golongan darah A, permasalahan pada pencernaan adalah makanan sehari-hari.
Ya, hal itu terjadi padaku, sebagai golongan A. Lambungku pernah berontak sejadi-jadinya sampai aku harus memperhatikan makanan/minuman yang aku santap. Karena aku adalah orang yang mudah jera.

Aku yang tadinya penggila makanan pedas, sekarang rasanya harus mengurangi takaran cabe. Begitupun kopi, aku kurangi. Mungkin saat ini hanya 1 gelas seminggu. Tadinya aku sedih karena hal itu. Tapi demi agar aku lebih sehat, aku rela, tidak bertemu kopi setiap hari. Membatasinya untuk tidak rutin mengalir di tenggorokan dan lambungku.
Walaupun begitu aku tetap suka, aku tetap menjadi penggemar "Triple C" (Coffee, Chocolate, Cheese)
Begitulah kira-kira ceritanya mengapa aku suka kopi.

"Kopi adalah sebuah jembatan pertemanan dan pembukaan pembicaraan yang hangat"

"Aku tak peduli kopiku menjadi dingin karena aku terlalu serius mendengar dengan seksama apa yang kamu katakan"

"Dibalik warnamu yang pekat, tersimpan ketulusan yang manis"

"Aku rasa tak ada yang tak suka kopi, jika ada mungkin karena ia belum pernah menikmatinya"

Jakarta, 19 Okt 2016

-SA-







Tidak ada komentar:

Posting Komentar