Selasa, 22 November 2016

History of My Life

Tepat hari Senin, 21 November 2016 aku yudisium dan resmi menjadi seorang alumni di sebuah lembaga pendidikan. Tiga tahun akhirnya terlewati dengan baik setelah memangkas habis hambatan-hambatan dalam proses belajar. Saat itu aku merasa sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi yang (mungkin) diluar sana banyak orang yang mendambakannya. Aku baru lulus saja D3.

Disini aku akan bercerita tentang histori kecil pendidikanku. Jadi, selepas lulus SMP aku memilih salah satu sekolah teknik favorit di Jakarta dengan program selama 4 tahun. Aku lolos karena memang nilai UN-ku lumayan besar. Aku menginginkan menjadi seorang ahli komputer tapi apa boleh buat saat mendaftar namaku tembus pada pilihan kedua yaitu jurusan Teknik Elektronika & Komunikasi. Pikirku tak mengapa itu juga jurusan favorit dan masih satu bengkel dengan jurusan Teknik Komputer & Jaringan yang aku inginkan waktu itu.

Aku buta huruf tentang istilah-istilah yang berbau elektronik, aku merasa harus belajar dari nol dan bersabar karena roaming saat guru menjelaskan. Dari kelas 1 nilai mata pelajaran jurusan sangat-sangat tidak memuaskan. Aku hanya unggul di beberapa mata pelajaran umum terutama bahasa Indonesia aku beberapa kali mendapat nilai sempurna dan hampir sempurna. Aku yang pada dasarnya tak terlalu pandai berhitung sedangkan jurusanku adalah blasteran dari ilmu fisika dan matematika, aku merasa harus mati-matian untuk mengerti dan paham.

Tiga tahun terlewati dengan baik karena walaupun aku tidak pandai khususnya di pelajaran jurusan, sikap rajin dan pantang menyerahku mampu melewatinya plus dibantu dengan nilai pelajaran umumku yang lumayan unggul. Setelah lulus UN aku masih harus menghabiskan waktu 1 tahun untuk magang karena sudah aku jelaskan bahwa aku bersekolah selama 4 tahun dan itu (katanya) setara dengan D1. Aku dulu magang di sebuah perusahan jasa lumayan besar, pusat service center N*kia. Dari situ aku tahu mengenai gambaran dunia kerja seperti apa. 

Setelah benar-benar tamat dan lulus, beberapa temanku mengikuti SNMPTN sedangkan aku tidak ikut karena memang orangtua ku hanya mampu menyekolahkan-ku sampai disini saja. Jadi, aku tak begitu tertarik untuk ikut test masuk perguruan tinggi karena ya, tidak ada biaya dan aku sendiri merasa harus bekerja. Disekolahku pun banyak menerima tawaran untuk masuk perguruan tinggi melalui jalur khusus, dahulu namanya PMDK. Aku sempat tertarik untuk ikut salah satunya, karena aku merasa memenuhi syarat. Sampai aku sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan terutama dokumen, tapi  aku jadi ragu dengan keadaan ekonomi keluargaku yang memang pas-pasan ditambah kemampuanku dibidang elektronika tidak terlalu bagus. Maju mundur sempat galau, bingung harus bagaimana, memilih kuliah atau kerja, kerja atau kuliah.

Fix, aku mundur dengan perasaan yang tidak terlalu kecewa karena aku cukup cepat mendapat pekerjaan yang baik meski kurang sesuai dengan jurusan disekolahku. Aku juga tak menyalahkan siapa-siapa akan hal ini terlebih keluargaku. Tidak akan. Kemudian beberapa tahun aku asyik bekerja, lupa akan cita-cita melanjutkan pendidikan dan memang tak ada yang mengingatkan. Namun, suatu hari aku merasa bersemangat lagi untuk bersekolah, belajar. Aku merasa rindu sekali mendengar dan memperhatikan orang-orang hebat yang berada di depan ruangan. Aku merasa terpukul karena aku menyia-nyiakan waktuku selama ini. Semakin hari aku melihat diriku semakin kecil dan tak ada apa-apanya ketika aku menjalin pertemanan sebanyak-banyaknya diluar sana. Aku merasa kosong, aku harus belajar juga membaca buku. 

Tiba saatnya kubulatkan keinginan dan tekad untuk kuliah walau aslinya aku tak punya uang karena gajiku selama ini habis begitu saja untuk keperluan sehari-hari. Sempat bingung mau daftar kuliah dimana. Pikirku dimanapun kuliahnya, semua kampus pasti ingin mahasiswanya unggul. Akhirnya dengan budget yang pas-pasan dan waktu pendaftaran sudah hampir habis, aku mengambil program akademi di BSI. Setelah aku menimbang 2 jurusan yang aku inginkan yaitu Public Relation dan bahasa Inggris akhirnya aku memilih jurusan bahasa Inggris. Mungkin dulu waktu sekolah nilai bahasa Indonesia ku bisa 10 tapi tidak untuk bahasa Inggris. Aku ingat waktu di kelas 3 guru bahasa Inggris sangat gemas terhadapku karena aku tak bisa mengarang dengan baik.

"Kamu ini kalo ngarang, bahasa Inggrisnya itu bener-bener bahasa Indonesia banget. Bahasa Indonesia di Inggris-Inggrisin sama kamu" masih terngiang dikepalaku.

Aku cuek saja karena bahasa Inggris bukan pelajaran utama dan dikelas aku juga bukan satu-satunya yang tidak pandai berbahasa Inggris, tetapi sesungguhnya, minatku cukup besar apalagi ketika melihat bule-bule di Jogja berdialog aku langsung berimajinasi bahwa aku bisa casciscus berdialog seperti mereka. Sempat mencoba berdialog dengan mereka meskipun gugup tak terhingga. Sayangnya waktu itu aku belum menemukan bagaimana cara belajarnya.

Selama tiga tahun aku jalani perkuliahan dengan lika-likunya. Tetiba sakit sudah terbiasa karena ya memang sangat melelahkan. Hampir setiap hari aku pulang malam. Pagi sampai sore bekerja dan sore sampai malam kuliah. Cukup bersyukur karena tempat dimana aku bekerja mengijinkan aku pulang lebih cepat sedikit untuk kuliah malam. Macet, gerah, lapar, telat menjadi cerita senja dikala itu. Beruntung pada akhirnya Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia yang mencetuskan adanya ojek online. Hal tersebut cukup membantu ketika aku harus cepat-cepat sampai kampus untuk ujian. Aku juga harus rela mengorbankan beberapa kegiatanku khususnya dibidang seni agar lebih fokus. Aku yang terlanjur mencintai bahasa dan seni semakin mendalami proses belajar dan Hamdalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dari semester 2 sampai semester 6 aku mendapat beasiswa 50% dari total biaya kuliah. Itu berkat informasi dari temanku agar aku mengajukan aplikasi beasiswa. Yey, sebuah awal prestasi yang baik versiku.

Terlewati sudah tiga tahun itu. Aku merasa aku tidak salah memilih jurusan dan semoga itu benar sampai seterusnya, ini membuatku jadi suka belajar, mencoba menulis, dan kadang berpuisi. Aku senang kuliah dikampusku, meski kampusnya kecil tapi menurutku fasilitasnya lumayan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Aku pernah menangkap komentar negatif tentang kampusku, aku anggap mereka mungkin tak pernah merasakan bagaimana rasanya kuliah disana. Jadi, abaikan saja, cukup buktikan saja dengan kemampuan dan akreditasi kampus tersebut. Bagiku yang disayangkan adalah kenapa hanya sampai level D3 untuk kampus daerah Jabodetabek. Itu membuatku saat ini harus hunting kampus lagi untuk melanjutkan.

Bagi beberapa orang mungkin ada yang berkomentar "Ya ampun cuman D3 aja kok bangga banget"
(Saya menulis kalimat tersebut bukan fiktif belaka tapi karena mengalaminya.)

Ya, aku bangga karena mampu menyelesaikan studi ini dengan baik dengan waktuku sendiri, tenangaku sendiri serta uangku sendiri. Bagi anak yang beruntung memiliki orang tua yang bercukupan mungkin dengan mudahnya bisa kuliah. Tapi, buka matamu kawan, tidak semua orang seberuntung itu mendapat dukungan/sokongan moril maupun materil. Banyak yang berkeinginan keras tapi harus bekerja keras juga untuk mewujudkan. 

Melalui pengalaman yang aku tulis ini, aku belajar untuk tidak meremehkan atau memandang sebelah mata kepada siapa dan apa yang telah dicapainya. Mungkin dimata kita itu tak berarti apa-apa namun tangkaplah sinar matanya yang bangga akan pencapaiannya yang luar biasa. Bagi setiap orang punya tolak ukur kesuksesan masing-masing jadi jangan pernah samakan nilainya. Terima kasih jika sudah mengerti.

Ada beberapa quote yang saya suka dan memberikan efek semangat untuk melanjutkan pendidikan :

"Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena mereka akan menjadi seorang ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas"
Dian Sastrowardoyo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar